Dimuat Dalam Kaltim Weekly, Edisi 100, 11-16 April 2016.
Nama Piatur Pangaribuan memang tak asing di Balikpapan. Terlebih ketika ia memberikan kritikan pedasnya terhadap kinerja instansi atau kebijakan pemerintah diberbagai media. Seringkali statement-nya membuat instansi terkait kebakaran jenggot.
DUA puluh lima tahun silam Piatur menginjakkan kakinya di Benua Etam. Samarinda menjad tempat pertamanya mengadu nasib. Saat itu ia masih duduk di kelas 2 SMA. Berbekal "bondo nekad" ia pergi merantau mengadu nasib dari kampung halamannya di Sumatera Utara. “Lalu saya melanjutkan sekolah di sana (Samarinda, Red),” ucapnya Piatur saat ditemui Kaltim Weekly di ruang kerjanya, Gedung Pascasarjana Universitas Balikpapan, Kamis pekan lalu.
Mata Piatur terus menerawang jauh. Pikirannya mencoba mengingat step by step proses jenjang karier yang ia alami semasa hidupnya. Sesekali ia menggeser gelang emas yang melingkar di tangan kirinya. Adanya gelang itu, bak menjadi simbol kesuksessannya kini. Pria berusia 43 tahun itu pun kembali bercerita kepada media ini. Kedua orangtua Piatur bukan orang yang kaya. Ayahnya hanya seorang petani dan ibunya sudah meninggal dunia pada waktu itu, 1991. Kendati demikian, piatur masih memiliki saudara kandung yang selalu siap membantunya.
Lulus SMA, Piatur lalu melanjutkan kuliah di Politeknik Negeri Samarinda. Berkat bantuan kakaknya tersebut ia mampu lulus D-3 jurusan akuntansi di perguruan tinggi negeri itu. “Sebenarnya lulus SMA itu, dapat PMDK di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam). Karena engga ada duit jadi ambil akuntansi di Samarinda dulu,” jelasnya. Setelah itu, ia sempat menjadi kepala gudang di salah satu toko elektronik di Kota Tepian itu. Setahun mengumpulkan modal, Piatur lalu menempuh S-1 Ilmu Hukum di Universitas Abdurachman Saleh Situbondo pada 1998. “Setahun kemudian, saya memilih untuk menetap di Balikpapan. Karena kebetulan saya juga bekerja sebagai supervisor export-impor dan asisten Tax Corporate di PT Eka Dharma Jaya Sakti,” kata pria yang hobi membaca dan menulis ini.